Masyarakat Jawa Barat, khususnya Etnis Sunda, pada umumnya mempunyai kebiasaan dalam MENGARTIKAN dan MEMAKNAI sesuatu yang bersifat eksternal dikaitkan dengan sesuatu yang internal. Hal ini terjadi karena kedekatan yang begitu erat dengan alam sekitar baik fisik/kontur alam, flora maupun fauna. Dengan demikian kekuatan Mithos Lama sebagai acuan berperilaku/berkehidupan masih mendapat perhatian yang sangat menentukan di masyarakat Sunda.
Terkadang begitu kuat kharisma Mithos ini, sehingga sesuatu yang asalnya hanya sebatas METAFORA berlanjut menjadi PERSONIFIKASI dan akhirnya menjadi indikator INDENTIFIKASI (pemaknaan diri). Konsep inilah yang menyebabkan timbulnya kebudayaan TOTEMISME, HERALDICA (Ilmu lambang), IKON (penanda khas). Masyarakat Sunda pun secara psikologis tidak terlepas dari konsep budaya metafora.
Berdasarkan wacana di atas selain dari Kajian Ekologis Ilmiah, terasa perlu ada kajian khusus mengenai fauna yang akan dijadikan IKON Jawa Barat dari sudut pandang Kajian Sosio Budaya.
KAJIAN SOSIO BUDAYA
Berbincang tentang “sosio-budaya” maka akan bersinggungan dengan MITHOS.
Tentang mithos bermacam pendapat telah disajikan para pakar. Pada intisarinya Mithos atau Kepercayaan Tradisional adalah “Ekspresi relasional antara manusia dengan alamnya di mana dia tinggal”. Relasi Urang Sunda dengan alam fauna di lingkungan hidupnya, terekam dalam kandungan folkloriknya a.l. bisa ditelusuri dari Cerita Pantun, Babad, Upacara Adat, Ornamen Kriya, Toponimi, Penamaan Diri. Untuk bisa menelusuri makna yang terkandung dalam aspek folklorik tsb, para seniman / budayawan Sunda akan menggunakan “Ilmu Panca Curiga (lima senjata)” yaitu kemampuan untuk mengartikan/memaknai secara SILIB (allude), SINDIR (allusion), SIMBUL (symbol, icon), SILOKA (aphorism) dan SASMITA (depth aphorism), dalam kajian sastra modern disebut dengan Heurmanetica dan Semiotica, seperti:
- MAUNG (HARIMAU). Terdiri dari jenis:
- MAUNG SANCANG, dimaknai sebagai kesetiaan rakyat Pajajaran terhadap Pemimpinnya.
- MAUNG LODAYA, dimaknai sebagai gambaran kualitas para pemimpin Sunda yang bersifat: pemberani, luwes dalam bertindak, bertenaga kuat, terampil, berkharisma, egaliter (a.l. telah dijadikan ikon pribadi Bp. R. Ema Bratakoesoemah (Alm), tokoh masyarakat Sunda).
- MAUNG BODAS, sering disebut Macan Putih, dimaknai sebagai IKON PRABU SILIWANGI SRI BADUGA MAHARAJA, dimaknai: berwibawa, bertuah, berkepribadian tulus ikhlas.
- MAUNG HIDEUNG (MACAN KUMBANG), dimaknai sebagai gambaran keberanian para penjaga/prajurit negara, dianggap sebagai jelmaan dari para prajurit kerajaan Pajajaran.
- LUTUNG. Dalam Cerita Pantun LUTUNG KASARUNG yang dianggap sakral dan bersifat KOSMOGONI, dimaknai sebagai penjelmaan manusia di alam dunia. Gambaran perjuangan manusia yang terus menerus, gambaran kesetiaan dan kesadaran religius.
- KUYA (KURA-KURA). Dimaknai sebagai karakter yang “merendah/low profile”. Biar lambat asal selamat, dan dimaknai pula sebagai harapan untuk berumur panjang.
- KADANCA. Sejenis burung yang dimaknai sebagai keceriaan hidup. Digambarkan dalam lagu papantunan Tembang Sunda.
- JALAK HARUPAT. Dimaknai berani tampil, tangkas berbicara, telah menjadi ikon dari Bp. R. Otto Iskandardinata (Alm).
- CIUNG. Dimaknai sebagai kepandaian berbicara, luwes, indah, terampil dan bersahabat.
- WANARA (KERA). Sebenarnya dimaknai sebagai orang peladang yang baik (Wana= hutan; Ra=orang yang baik). Dimaknai sebagai: gesit, beretos kerja. Kedua nama fauna ini digunakan sebagai nama seorang tokoh mythos/historis raja dari kerajaan Galuh, yaitu CIUNG WANARA.
- MUNDING. Bimaknai sebagai kekuatan nafsu manusia yang dasariah, semangat kerja. Dalam cerita pantun ada nama Mundinglaya di Kusumah dimaknai sebagai “Sifat kehewanan (munding) yang telah luruh (laya) dalam (di) sifat keutamaan (Kusumah)."
- KUDA. Dimaknai sebagai kekuatan, ketampanan, bersifat maskulin.
- BADAK. Dimaknai sebagai bertenaga kuat, teguh pendirian, terkadang egois (ngabadak, sentak badakeun). Sekarang dijadikan ikon Provinsi Banten.
- NAGA (ULAR). Dimaknai sebagai ilmu pengetahuan yang bersifat spiritual, perubahan yang terus menerus.
- BUHAYA (BUAYA). Dimaknai sebagai kekuatan transendental dari alam yang silam. Keterikatan dengan masa lampau.
- UNCAL (RUSA). Dimaknai sebagai kualitas ilmu pengetahuan. Kemampuan mengatasi masalah.
Ada 3 nama fauna yang diajukan oleh BPLHD untuk dijadikan Ikon Jawa Barat, yaitu:
- SURILI (Latin: Presbytis comata), bisa dimaknai sebagai “Suara/Pendapat Rakyat”. Hal ini tergambarkan dalam cerita pantun Lutung Kasarung ketika Guru Minda dari Kahiyangan diturunkan di tengah hutan wilayah negara Pasir Batang Anu Girang, maka kehadirannya disambut oleh:“Surili anu sareuri, tingguntayang bararungah,mapag putra Sunan Ambu, nu lungsur ka marcapada,Pasir Batang Anu Girang, sagirangeun birit leuwi,birit leuwi peupeuntasan, peupeuntasan Pajajaran.”(nn)(Surili ramai tertawa, begelantungan merasa bahagia,menyambut kehadiran putera Sunan Ambu yang turun ke marcapada, di negara Pasir Batang Anu Girang, lebih ke ulu dari lubuk, lubuk sungai tempat menyeberang, tempat menyebarang orang Pajajaran).Tetapi ketika Aki Panyumpit mencari binatang buruan, SURILI-SURILI itu menyembunyikan diri dan TIDAK MEMPERDENGARKAN SUARANYA KARENA KETAKUTAN. Maka dalam semiotica Sunda gambaran kedua situasi para surili ini bisa dimaknai bahwa BILA RAKYAT KECIL BERSUARA, HAL ITU MENANDAKAN MASYARAKAT YANG SEHAT DAN BAHAGIA. Sebaliknya BILA RAKYAT KECIL TIDAK TERDENGAR SUARANYA, menandakan ADA RASA TAKUT YANG MENGHIMPIT BATINIAHNYA.Menurut informasi dari ahli satwa (Dalam Seminar BPLH, 22 September 2003 di Bandung), bahwa kebiasaan “surili” bila di hutan selalu ramai bersahut-sahutan, tetapi bila ada sesuatu yang mencurigakan, mereka akan berdiam sehingga di hutan pun sunyi senyap).(Catatan: Bila kita analogikan pemaknaan “surili sebagai metafor rakyat kecil” seperti wacana di atas dengan Konsep Kepemimpinan (Leadership Prabu Siliwangi) - disebut dengan Konsep PARIGEUING berasal dari naskah Sanghiyang Siksa Kanda’Ng Karesian (1518 M) - sungguh sangat erat kaitannya).
- OWA (Latin: Hylobates moloch), dimaknai sebagai kewaspadaan kelompok/keluarga serta mampu mengamati situasi. Tergambarkan dalam lantunan juru pantun bahwa:“Di leuweung Sumenem Jati,owa-owa ngaraririung,sakumbuhan-sakumbuhan,ngawaskeun nu karek datang.”(Di hutan Sumenem Jati, owa-owa berkelompok-kelompok, memperhatikan dengan cermat kepada yang baru datang).Menurut informasi dari ahli satwa (Dalam Seminar BPLH, 22 September 2003 di Bandung), bahwa kebiasaan “owa” adalah “monogami” membentuk keluarga khusus.
- HEULANG / ELANG (Latin: Spizaetus bartelsi), dimaknai sebagai pembawa berita dari alam Kahiyangan, pembawa berita dari alam transcendental (hal ini terkisahkan ketika Guru Minda dari Kahiyangan turun ke marcapada diiringi para “Guriang” yang menampakkan diri menjadi tujuh ekor elang). Diartikan pula sebagai gambaran kemampuan untuk mengatualisasikan diri secara optimal. Dimaknai pula sebagai kemampuan untuk menjaga/mengawasi wilayah kekuasaannya (searti dengan kesadaran geo-politis/geo-strategi pada masa sekarang). Sering dimaknai pula sebagai gambaran manusia yang EGALITER dan EQUALITER (salah satu karakter bawaan masyarakat Sunda - yang berkonsep peladang - berfaham bahwa semua manusia adalah sederajat dan sama dimata hukum hal ini tersiratkan dalam proses bermasyarakat SILIH ASIH, SILIH ASAH dan SILIH ASUH - SILAS). Karakter “ke-egaliter-an” urang Sunda terkadang cenderung “soliter”, mungkin karena didasari “kepercayaan diri” yang terlampau tinggi, walau dalam batiniahnya terasa kesendirian yang memilukan, seperti dendang dalam lirik lagu Selabintana di bawah ini:“Geuning kieu rasana hirup nyorangan,tanding heulang nu hiber di awang-awang,taya pisan nu marengan,estuning hirup nyorangan,ati peurih ku kasedih,duuuh tugenah teuing.”(Alm. Bp. Engkos)(Seperti inilah rasa kesendirian, ibarat burung elang melayang di angkasa, tiada berteman, hidup sebatangkara, hati terasa pedih perih, aduhai sungguh menyesakkan dada).
Berdasarkan wacana mithos di atas, maka tak heran bila ada orang yang mengidentikkan “karakter manusia” dengan pemaknaan fauna-fauna di atas. Sesuatu yang biasa terjadi, walaupun sebenarnya MANUSIA-lah makhluk Allah SWT yang paling mulia.
Copyright © Tatar Pasundan
Posting Komentar